jump to navigation

Diskusi RUU Desa (2): Mari Perjuangkan Desa Lebih Berdaya Juni 27, 2012

Posted by Desa Sima in Nasional.
Tags: , ,
trackback

Sepuluh tahun memimpin Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, periode 2000-2010, Idham Samawi membuktikan banyak perubahan bisa dilakukan bagi warganya. Bukan dengan program pemerintah yang ditentukan dari atas, melainkan dari pelibatan masyarakat. Kepala desa menjadi kunci keberhasilan itu.

Idham dalam diskusi terbatas bertema ”Menyambut Rancangan Undang-Undang Desa” di Kantor Redaksi Kompas di Yogyakarta, 5 Mei, menyebutkan, kepala desa sebagai pemimpin komunitas terkecil mampu mengidentifikasi masalah secara tepat. Persis dan tanpa rekayasa. Dari identifikasi masalah itu, program pemerintah terkait kesejahteraan rakyat bisa dijalankan. Program pun tepat sasaran. Ini sejalan dengan UUD 1945 untuk mewujudkan kesejahteraan bagi segenap bangsa.

Kerja Gubernur Jawa Timur M Noer (periode 1967-1976) juga diingat rakyat karena bertumpu pada desa. Noer dikenal sering turun ke desa-desa untuk memahami persoalan yang dihadapi rakyat. Jelang pemilihan gubernur Jatim tahun 2008, ia juga berpesan kepada salah seorang kandidat untuk membangun provinsi mulai dari desa.

Beberapa pemimpin daerah memiliki kapasitas dan kebesaran hati untuk melihat potensi desa. Namun, tidak sedikit yang memandang desa sebelah mata. Bahkan, beberapa pihak, kata Kepala Desa Terong, Dlingo, Bantul, Sudirman Alfian, memberi stigma desa itu ndeso. Desa termarjinalkan dan terkesan beradministrasi kacau.

Padahal, sikap tidak mau tahu dan kebijakan top down yang diterapkan pemerintah secara umum membuat potensi desa terabaikan. Bahkan, otonomi desa seakan tergantung budi baik bupati. Bila bupati memiliki respek kepada desa, otonomi desa berlangsung baik. Bila sebaliknya, otonomi berhenti di kabupaten.

Akhirnya, desa tetap menjadi daerah tertinggal. Masyarakat, bahkan perangkat desa, tak berdaya. Ketidakadilan kerap terjadi. Penguasaan lahan perkebunan dan alih fungsi lahan pertanian menjadi kompleks perumahan pun terjadi.

Ketika semakin tidak berdaya, kota menjadi gula-gula menjanjikan. Urbanisasi terjadi.

Oleh karena itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi awal Mei lalu menyebutkan tak bisa lagi menganggap sebagian besar masyarakat Indonesia berada di desa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk desa tinggal 48 persen. Sisanya di kota.

Desa mandiri

Sebelum desa benar-benar ditinggalkan, semestinya ada upaya memberdayakan komunitas terkecil ini. Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE), Sutoro Eko, mengatakan, pengakuan adalah langkah pertama yang diperlukan untuk mendorong desa yang mandiri, demokratis, dan sejahtera. Pengakuan dan penghargaan akan menimbulkan pemberdayaan.

Tanpa itu, lanjut Sutoro, negara hanya membangun desa dengan membanjiri proyek. Selain itu diberikan pula bantuan langsung kepada masyarakat yang membuat banyak orang cenderung mengaku miskin.

Eko menilai, semua proyek hanya menimbulkan budaya ketergantungan. Karenanya, pemberdayaan sangat diperlukan perangkat dan masyarakat desa.

Sudirman menegaskan, hanya dua hal yang diperlukan desa. Pertama, pemberdayaan pemerintah terhadap pamong desa. Dengan demikian, tersedia cukup tenaga potensial untuk mengelola anggaran dan menjalankan pemerintahan otonom. Kedua, alokasi dana desa. Ketika dua hal ini diberikan, desa berdaulat. Kerja pemerintah pun separuh rampung.

Masalahnya, Rooy John Salamony dari Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemendagri menyebutkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa hanya mengatur aspek pemerintahan. Ciri kultur desa cuma masuk pada salah satu pasal.

Kerancuan peraturan ini, lanjut Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Sadu Wasistiono, sudah dimulai dari amandemen kedua konstitusi. Pasal 18b Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan negara mengakui dan menghormati suatu kesatuan masyarakat hukum adat. Namun, tak ada penegasan tentang desa. Desa bahkan disamaratakan. Sejak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa sampai UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, sudah terjadi uniformitas. Keunikan dan potensi desa terabaikan.

Pengabaian juga terasa betul dalam musyawarah perencanaan pembangunan. Usulan warga desa yang didasarkan pada kebutuhan riil menjadi catatan belaka. (Nina Susilo)

Sumber

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar